Sistem Tanggap Bencana Yang Paradigmatik

Wawancara Arifin Purwakananta October 1st, 2008

Disela-sela gaya bicaranya yang sederhana dan lugas seringkali terlontar kejutan-kejutan. Kreatifitas dan ide-ide segar lelaki humoris ini memang seperti tak pernah terputus dan terus mengalir. Minatnya luas. Tak heran ia menjadi juara dan ketua kelas di sekolah, mendaki gunung, menang lomba adzan, memainkan alat musik flute, belajar biola secara otodidak, menjadi asisten dosen di kampus, sampai menjadi pernah juara invitasi internasional Silat Perisai Diri. Aktifis zakat yang pernah menjadi trainer teknik berfikir kreatif ketika menjadi mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Indonesia ini memang selalu bergairah dalam memberikan kontribusi pemikiran tentang berbagai hal. Menanggapi isu kebencanaan misalnya, gagasannya tentang Konsep Kampung Tanggap Bencana yang sempat diseminarkan di Universitas Islam Al Azhar Jakarta 2006 lalu mendapat tanggapan positif dari peserta seminar. Menjelang rekaulang sistem tanggap bencana nasional melalui upaya melahirkan undang-undang yang saat ini masih digodog DPR, aktifis sosial yang pernah menjabat Direktur Institut Manajemen Zakat ini, melontarkan gagasan seputar system tanggap bencana nasional yang paradigmatik dan peran strategis organisasi pengelola zakat (OPZ) dalam sistem itu.

Sistem tanggap bencana di Indonesia belum terintegrasi dan lemah dalam pelaksanaannya.

Arifin tersenyum ketika hal ini dilontarkan kepadanya. Ia menanggapi dengan positif. “Perlu waktu dan kearifan kolektif untuk menciptakan sebuah system nasional yang baik”, katanya, membuka diskusi. Ia berharap bahwa Indonesia kelak akan lebih baik dalam menangani bencana yang terjadi.

Menururt Arifin, kenyataan posisi geografis Indonesia yang menjadi pusat dari cincin api dunia adalah bak negeri dengan sejuta potensi bencana. Dunia mencatat ledakan Krakatau dan Tsunami yang menelan ratusan ribu jiwa dan konon letusan super volcano di Nusatenggara dan Sumatra yang getarannya dirasakan di seluruh dunia. Belum lagi bencana-bencana yang lebih kecil seperti gempa dan longsor, kebakaran, banjir atau bahkan bencana sosial seperti kerusuhan dll. Keadaan ini akan membuat Indonesia memiliki pengalaman yang kaya dengan berbagai macam bencana. Sepahit apapun, ini bisa dilihat sebagai salah satu potensi kita dalam mengembangkan sistem tanggap bencana yang baik, tentu melalui sistem dan teknologi paling mutakhir. “ Boleh jadi suatu saat dunia akan belajar menangangani bencana dan meminimalkan korban dari pengalaman kita”, sambung Arifin optimis.

Carut Marut Penanganan Bencana

Arifin menilai penanganan bencana di Indonesia saat ini memang masih diwarnai dengan ketidak jelasan struktur komando pusat dan daerah, infrastruktur lembaga penanganan bencana merupakan unit ad hoc yang miskin pengalaman, serta ketidak jelasan preferensi pengambilan keputusan suatu bencana dianggap bencana nasional atau bukan, lagi-lagi ini berimbas pada kebijakan penyediaan dana pusat. Jika dirunut ini dimulai dari ketiadaan aturan dan payung hukum yang baik. Walau demikian seharusnya ini dapat diperbaiki jika kepemimpinan di tingkat nasional maupun daerah di pegang oleh mereka di back up system informasi dan pengambilan keputusan yang kuat. Lebih jauh lagi kecarut-marutan penanganan bencana di indonesia juga adalah andil dari landasan berfikir dan paradigma yang lama dan seharusnya kita tinggalkan. Kemandegan paradigma penanganan bencana ini yang berujung pada mandulnya seluruh program kerja penanganan bencana yang ada.

Taruhlah mengenai siapa yang seharusnya mengambil peran utama dalam penanganan bencana nasional. Benarkah ia berupa sebuah badan koordinasi harus dikomandoi oleh Presiden/wakil presiden atau sebuah lembaga tetap setingkat departemen. Perdebatan ini tak harus berhenti di sini. Lebih dalam lagi benarkah sebuah komite atau badan dapat menangani sebuah bencana yang sedemikian kompleks. Masih ada banyak alternative lain misalnya berupa sistem yang mirip konsep HANKAMRATA (pertahanan keamana rakyat semesta) yang berarti system yang melibatkan public dalam kondisi penanganan darurat. Itu sebagai contoh. Belum lagi mengenai kebijakan dan penyediaan dana penanggulangan bencana, isu koordinasi dsb. “Kecarutmarutan penanganan bencana selalu saja menjadi bencana kedua menyusul bencana sebenarnya”, lanjut Arifin. Tak heran alih-alih menangani bencana, kita sering mendengar berita para pejabat malah terlibat korupsi dana bencana.

Sistem Tanggap Bencana yang Paradigmatik

“Kita memerlukan system tanggap bencana baru yang paradigmatik”, sambung Arifin, kali ini dengan raut wajah yang serius. Arifin memaksudkan gagasan ini sebagai cara pandang ketanggap-bencanaan dengan cara baru yang lebih komprehensif dan terintegrasi. Konsep ini memandang seluruh dimensi yang mungkin terkait seperti manusia, waktu, sumberdaya, budaya, ekonomi, geososial, teknologi, dsb, dalam penanganan kebencanaan.

Misalnya kita harus memandang manusia sebagai subjek dari seluruh system tanggap bencana ini. Artinya baik management, professional tanggap bencana, relawan, dan korban adalah sama-sama pemeran utama dari wacana tanggap bencana. Paradigma ini akan menghasilkan system tanggap bencana yang akan menempatkan posisi manusia pada peran semestinya. Kesadaran akan dimensi waktu akan menumbuhkan system pencegahan dan pengendalian dini bencana, tanggap darurat, dan recovery bencana.

Demikian juga kita perlu memandang dimensi lain berupa sumberdaya atau budaya, ekonomi, geososial dsb. dengan lebih komprehensif dan terinstegrasi. Umpamanya untuk pencegahan dan kesiagaan bencana: kita perlu memperkuat konsep early warning system yang modern, penguatan budaya dan cerita rakyat yang tanggap bencana, planologi dan tataruang yang mencegah korban dan pembuatan sarana darurat jika diperlukan, arsitektur bangunan yang melindungi, pranata social, konsep pendidikan bahkan konsep ekonomi social yang peduli dan tanggap bencana hingga akan akan mencegah atau mengurangi akibat bencana. “Gagasan ini bisa diuji dan didetilkan menjadi suatu system tanggap bencana alternative, memang perlu tim yang berisi beberapa teman yang ahli di bidangnya dan mau peduli”, lanjut Arifin.

Mendapat kesempatan dari Dompet Dhuafa untuk mengelola penanganan bencana alam longsor di berbagai wilayah seperti Jasinga Jawa barat, gempa di Brebes, gempa di Sukabumi, gempa 7,2 SR di Bengkulu, banjir Jakarta , Tsunami di Banggai Kepulauan Sulteng, banjir di Banjarbaru Kalsel, selama kurun 2000 sampai 2004, membuat Arifin memiliki jam terbang penanganan bencana yang lumayan. Ia kemudian selalu terlibat dalam tim pengananan bencana seperti tsunami Aceh, gempa Yogya dan gempa Sumbar awal Maret 2007 ini.


Peran Organisasi Pengelola Zakat

Menanggapi kenyataan kurang signigfikannya peran OPZ dalam penanggulangan bencana selama ini, Arifin yang menjabat sebagai General Manager Resources Mobilization Baznas Dompet Dhuafa ini menganggap hal tersebut sebagai sebuah proses. “Meskipun terkesan sporadis dan sendiri-sendiri, peran OPZ dalam penanganan bencana saat ini tidak bisa dibilang kecil”, sambungnya. Kita memang melihat kenyataan hampir di semua bencana dan tragedi kemanusiaan yang ada pada 5 tahun terakhir ini selalu saja menyedot OPZ dan lembaga yang berbasis kedermawanan Islam lain untuk turun membantu. Beberapa OPZ malahan membentuk unit khusus bencana dan rajin membuka dompet bencana dan kemanusiaan. “Sebagai sebuah potensi, OPZ memiliki kekuatan yang strategis sebagai bagian penting dalam konsep tanggap bencana”, lanjut ayah dari dua orang putri ini.

Potensi yang dimaksud Arifin adalah keberadaan infrastruktur sosial termasuk kemampuan memobilisasi masyarakat relawan yang dimiliki oleh OPZ dalam perannya sebagai lembaga ummat, ketersediaan dana public sebagai cadangan penanganan bencana, dan kesiapan OPZ dalam pendampingan masyarakat pasca bencana dalam jangka waktu yang panjang dalam perannya sebagai amil zakat. Yang terakhir ini adalah penciptaan sarana baitul maal yang menjadi lokomotif social economic security system di masyarakat, sebagai system yang menciptakan kemandirian masyarakat. Tiga potensi ini sekaligus menjadi fungsi strategis OPZ. Jadi OPZ bukan saja hanya mengalang dana dan menyerahkannya ke lokasi bencana.

Penanganan tanggap bencana dengan keterlibatan masyarakat sebagai subjek ini merupakan konsep terkini, dan mustinya OPZ termasuk lembaga yang paling siap dalam menerapkannya. Tinggal apakah nantinya dalam skala nasional OPZ-OPZ mampu mengkordinir lembaga mereka sehingga menjadi kekuatan yang lebih signifikan, “Di sini nantinya FOZ dapat berperan”, lanjut Arifin menutup pembicaraan. [p]

sumber : forumzakat.net
http://tanggapbencana.blogdetik.com/2008/10/01/sistem-tanggap-bencana-yang-paradigmatik/

No comments:

Post a Comment